Bis Surakarta – Purwantoro hampir penuh ketika aku
masuk bis. Suasana begitu panas membuat keringat mengucur dari badanku.
Kuhempaskan badanku di jok bis yang sudah berisi seorang laki–laki berumur
kisaran 40an tahun. Terlihat pendiam orangnya dan terkesan cuek.
Ah pikirin ... yang penting sudah masuk bis, tinggal
pejamkan mata dan tidur, semoga nanti begitu bangun sudah sampai di terminal
Purwantoro. Badan sudah begitu lelah karena perjalanan dari Yogya – Surakarta yang
seharusnya hanya sekitar dua jam tadi menjadi tiga jam lebih karena ada insiden
pembakaran sebuah toko di Yogya, sehingga jalanan menjadi macet.
Kerusuhan memang masih sering terjadi. Kondisi politik
Indonesia yang paska tergulingnya pemerintahan Presiden Soeharto Juli lalu
membuat suasana tidak kondusif. Sering kusaksikan penjarahan – penjarahan yang
terjadi, kekacauan terjadi dimana–mana membuat tidak nyaman dan tenang dalam
beraktivitas. Apalagi pekerjaanku yang menuntut aku sering pergi keluar kota
dari Yogya ke Surabaya, ke Semarang dan ke Jakarta untuk berbelanja kebutuhan–kebutuhan
perusahaan.
Perjalanan kali ini aku berniat menyambangi kakak
angkatku yang bekerja di Ponorogo. Sudah lama sekali aku tidak bertemu
dengannya sejak aku bekerja di Kota Gudeg Yogya mulai bulan juli tahun silam.
Kebetulan aku diberi cuti beberapa hari oleh bosku sehingga bisa kumanfaatkan
untuk berlibur ke kota reog Ponorogo. Perjalanan harus kulewati dengan oper
transit tiga kali dari terminal Umbulharjo Yogya ke terminal Surakarta, lalu
dari terminal Surakarta ke terminal Purwantoro, lalu dari terminal Purwantoro
menuju Ponorogo.
Lamunanku terhenti karena kudengar sapaan dari laki–laki
yang duduk di sebelahku, ia menyapa dengan bahasa khas timur, bahasa Yogya yang
halus.
“Arep nyang endi to Mas ?” Sapanya
“Ponorogo, Pak. Bapak tinda’an pundi?” Aku menjawab
dengan dialek khas Jogja yang kental juga karena setahun hidup di Kota Gudeg ini
aku sudah bisa beradaptasi salah satunya dengan bisa berbahasa khas mereka.
“Arepan nyang Ponorogo ugo Mas. Dewe’an to ?”
“Iyo Pak. Arep nyang gone Mase. Bapak kerjo po tinda’an
endi to Pak?” tanyaku sok akrab
“Kerjo Mas. Neng Yogyo ra betah kerjone aku rekoso,
iki ono lowongan neng Ponorogo keto’e penak dadi tek uyak.” Memang kental dialek
khas Jogjanya namun aku merasa ada sedikit yang kurang bahwa seolah dialeknya
itu agak campur–campur ngapak. Masih terasa sedikit logat ngapaknya dari irama
suaranya yang keluar.
Ah bodo amat, toh itu gak penting.
Pembicaraan berlanjut dengan obrolan ke sana ke sini
dengan bahasa yogya yang halus. Untung aku bisa mengimbanginya meski kadang
dialek “Ngapak”ku masih keluar.
Meski bisa beradaptasi dengan berinteraksi
menggunakan bahasa Jogja yang halus, sebenarnya terasa agak kagok juga karena
mulut ini terasa lebih nyaman dan enak menggunakan bahasa ngapak. Ketika sedang
berada di luar seperti ini sebenarnya lebih enak dan nyaman menggunakan bahasa
asal, bahasa ngapak. Apalagi Pak Anto aku rasa dialek ngapaknya juga terdengar
ada. Coba deh dia orang ngapak, pasti komunikasi dari terminal Surakarta menuju
Purwantoro akan lebih mengasyikan.
Yeachh... bagaimanapun aku tidak bisa lepas dari
bahasa asal kelahiranku. Bahasa Banyumas Ngapak yang menurut orang luar
Banyumas terdengar kaku dan sedikit ortodoks, tapi bagiku merupakan sebuah
kebanggan tersendiri. Bahasa Ngapak merupakan bahasa yang unik, memiliki dialek
campuran pertengahan antara bahasa halus jawa bagian timur (Solo Yogya), bahasa
pantura, bahasa jawa timur dan bahasa jawa sunda cirebonan. Dibilang halus juga
tidak begitu halus, dibilang kasar juga tidak kasar, pokoknya unik.
Ada satu kebanggan tersendiri sebagai warga Banyumas
bahwa keturunan Banyumas memiliki dinasti sendiri yang berada di satu wilayah
di Eropa yaitu di negara Suriname. Asal muasal berdirinya negara Suriname juga
tidak bisa lepas dari warga asli keturunan Banyumas dan banyak politikus,
negarawan, tokoh–tokoh penting maupun warga Suriname merupakan warga asli maupun
keturunan Banyumas.Dan bahasa ngapak Banyumas juga merupakan salah satu bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi oleh warga Suriname
Karena kekhasan bahasa Ngapak tersebut, aku juga
mendapat panggilan baru di tempat kerjaku yaitu Mas Inyonge Ngapak. Ya,
meskipun aku bisa beradaptasi dengan mereka dengan bahasa halus Jogja, namun
sering juga aku menggunakan bahasa asli Ngapak Banyumas. Aku juga selalu
menggunakan kata “Inyong” untuk kata aku ketika berkomunikasi dengan teman
sesama asal Banyumas.
Malu disebut Mas Inyonge Ngapak?
Tidak !!. Justru aku merasa bangga karena itu
menunjukkan bahwa bahasa Ngapak Banyumas memang begitu terkenal dimanapun dan
memiliki kekhasan tersendiri.
Dari lamanya pembicaraan dengan teman sebangku di bis
yang kutahu namanya Pak Anto (Wiranto) ini, aku menjadi agak ragu kalau Pak
Anto ini orang Jogja asli. Dialek yang digunakan memang dialek halus Jogja
namun nada suaranya terasa sekali ada nada ngapaknya.
Ketika sudah hampir sampai terminal Purwantoro kami
baru saling bertanya tentang asal daerah kami masing-masing. Aku bercerita
bahwa aku berasal dari satu desa yang asri dari Dukuh Cibungur Desa Danakerta
Kecamatan Punggelan, suatu wilayah yang sangat tenang, nyaman di Kabupaten
Banjarnegara. Aku bekerja di Jogja di sebuah perusahaan audio video dan
elektronik sudah setahun yang lalu tepatnya mulai bulan Juli 1997.
Pak Anto agak terkejut dengan jawabanku.
“Lho pean dudu wong Yogyo to Mas?. Sa’ngertiku wong
Yogyo wong iso ngomong boso Yogyo” Keterkejutan yang wajar karena dari awal
pembicaraan kita sama-sama menggunakan bahasa Yogya yang halus meski sebenarnya
terasa masih ada nada ngapaknya.
“Dudu Pak. Aku asli Banjarnegara. Aku neng Yogyo yo merantau
Pak, kerjo melok wong cino.” Jawabku.
Pak Anto terkesan sangat terkejut dengan roman yang
kelihatan ada aroma senang.
“Walah, berarti bisa basa ngapak ya Kang? Hahahahahaa..”
Tiba-tiba dia berbicara dengan bahasa ngapak yang kental dan memanggilku dengan
Kang bukan Mas, dan dia tertawa terbahak-bahak dan menyalamiku serta
memelukku..
Nervous dadine inyonge geh Pak hehe
“Ya bisa Pak. Lah wong inyonge asli wong Banyumas ya
bisa lah ..” Akupun membalas uluran tangan dan pelukan Pak Anto sambil juga
tertawa dan menjawab dengan bahasa ngapak.
Pak Anto terlihat begitu senang begitu tahu bahwa aku
ini bisa bahasa ngapak. Dia juga bisa bahasa ngapak dan kental sekali dialek
ngapaknya. Berarti dia orang ngapak juga nih??
Penasaran aku bertanya “Berarti Pak Anto ngapak juga
ya Pak? Lah kawit mau wis ngobrol ngalor ngidul ka dewek nganggo basa jogja
wong ternyata dewek wong ngapak. Asline sampeyan pundi Pak?”
Pak Anto menjawab dengan masih tertawa dan keras
sekali menggunakan dialek ngapak Kebumennnya yang sangat khas, “Kula Kebumen
Kang hahahaaha !!”
Bukan hanya aku, beberapa penumpang lain juga
terkejut saking kerasnya Pak Anto menjawab dengan sambil tertawa.
Oalahhhhhh ... Ternyata kita sama-sama wong ngapak ..... kenapa dari awal komunikasi tidak ngapak banyumasan kan lebih enak ...
Di terminal Purwantoro akhirnya kami berhenti untuk
makan. Di situ kami betul-betul tertawa sampai perut sakit karena begitu tahu
kami sama-sama orang ngapak meskipun aku berasal dari Banjarnegara dan dia
berasal dari Kebumen yang bahasa ngapaknya sudah beda, agak sedikit lebih kasar
karena bahasa warga daerah pesisir pantai memang biasanya agak beda.
“Lah wong rika ya kawit awal ngobrole nganggo basa
Jogja Kang, inyong ya melu bae nganggo basa Jogja ben katon gaul, bisa basa
alus. Asline jane ya kaku degreng, pengin ngobrol nganggo basane dewek sing
ngapak. Pokoke ora ngapak jan ora kepenak kang.“ akhirnya dialek ngapak khas
kebumennya keluar...
Kami lama ngobrol di warung makan tersebut, tentu
dengan menggunakan bahasa ngapak, bukan bahasa Yogya lagi ... Pembicaraan yang
akhirnya terasa enak karena sudah menggunakan bahasa asli asal kami dilahirkan,
bahasa Ngapak Banyumas ..
Ketika sampai di Ponorogo dan bertemu kakak angkatku,
aku bercerita tentang pengalaman yang terjadi di bis tadi. Kakakku tertawa
terbahak-bahak mendengarnya. Sampai sekarang masih menjadi guyonan beberapa
temanku yang tahu cerita tentang ini, kadang mereka meledekku dengan pertanyaan
“Sampeyan pundi, Mas?”
Dan pasti aku jawab seperti jawaban yang diberikan
Pak Anto padaku waktu itu ;
“Kula Kebumen !”
Pokoke Ora Ngapak Ora Kepenak ...
Berdasarkan kisah nyata pada tahun 1998, Ken Radjasa ID KOBRA 53462 /
00555
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus