Jarum jam di kamarku menunjukkan pukul 01:21 WIB, akan tetapi mata ini enggan terpejam, terus menyala-nyala menatapi langit-langit kamar, seakan memotifi plafon dengan aneka warna dan gambar. Selalu saja ingin melukiskan sesosok wajah seorang wanita cantik tetangga sebelah. Kami bertetangga dengan tembok menyatu, maklum sebagai penghuni komplek perumahan semi elite.
Adalah Mbak Venus, demikian aku memanggilnya, seorang wanita 40 tahun berparas cantik dan menawan. Entahlah! Mengapa jua aku begitu terpikat kepadanya. Tapi, rasanya bukan hanya diriku saja yang tertarik ketika memandanginya. Aku berkeyakinan bahwa setiap laki-laki normal yang melihatnya juga akan tertarik. Termasuk seorang security yang selalu mondar-mandir keliling komplek kenalanku. Kecantikannya nyaris sempurna. Beralis tebal, hidung bangir, dan bibirnya begitu sensual. Kulit wajah yang putih berseri serta postur tubuh proporsional membuatnya seperti bidadari.
Yang menjadi pertanyaan dalam hati adalah, mengapa ia harus bersuamikan seorang laki-laki lumpuh tak berdaya karena terserang stroke, tak bisa berbuat banyak, kecuali berbaring dan makan, itu pun harus disuapi.
Ah! Aku yakin, Mbak Venus sangat-sangatlah membutuhkan sesuatu yang lebih dari seorang lelaki, tidak hanya sebatas berstatus suaminya belaka, akan tetapi bisa memberikan nafkah lahir dan juga bathin. Lalu aku terlelap tidur hingga pagi menjelang.
***
Pukul 06:15. Di depan rumahnya Mbak Venus terlihat sedang menyirami tanaman dan bunga-bunga kesayangannya. Seperti biasa, aku selalu memperhatikan kecantikannya yang mengagumkan. Bahkan membayangkan betapa indah tubuhnya di balik busana muslimah yang selalu menutupinya. Sambil terus menaik-turunkan barble di tangan, yang setiap kali kulakukan ketika duduk-duduk di teras, terus kuperhatikan setiap gerak-geriknya.
"Yang 'nyiramnya sudah mandi apa belum tuh, Mbak?" candaku memberanikan diri.
"Ya sudah, dong. Nah! Yang bertanya itu sudah mandi apa belum, tuh?" jawabnya sambil tersenyum manis dan terus menyemprotkan air ke setiap helai daun tanamannya.
"Belum, Mbak. Orang baru bangun."
"Ih! Mandi dulu sana... ntar tambah ganteng, hehe ...."
"Ah! Mbak bisa aja, bukan hanya ganteng, Mbak, tapi juga jantan dan perkasa, nih!" pancingku sambil memamerkan otot bisep di lengan sambil mengangkat barble.
"Ya, deh! Namanya juga laki-laki, pasti ganteng dong. Hehe," jawabnya ringan.
***
Pancinganku untuk membuat Mbak Venus berimajinasi, nampaknya mulai berpengaruh. Terlihat ia kerapkali melemparkan senyuman manisnya di setiap kali saling pandang, bahkan sulit bagiku untuk memaknainya.
Hingga suatu sore, pada situasi yang sama, ketika ia sedang menyiram bunga, aku memberanikan diri minta pin BB-nya. Tak kusangka, nampak dengan ikhlas ia pun memberikan, bahkan meminta agar di-add akun Facebook-nya, "Untuk menambah daftar teman 'dumay'," katanya.
Aku kegirangan, tanpa buang-buang waktu, segera ku-invite kontak BBM sekaligus meng-add akun Facebook-nya melalui HP. Sejurus kemudian, komunikasi BBM-pun gencar dilakukan, bercanda tawa, hingga berbicara masalah rumah tangganya melalui tulisan.
***
Mbak Venus. Seorang istri dari mantan pejabat pemerintah setempat, yang tujuh tahun lalu di-PHK akibat terserang stroke. Namun dengan sabar dan penuh kesetiaan, Mbak Venus berjuang mengurus suaminya. Mas Dekik 54 tahun yang tergolek tak berdaya. Anak perempuan semata wayangnya tengah menempuh pendidikan kuliah di Amerika.
Demi menopang ekonomi keluarga, Mbak Venus bekerja sebagai guru privat dan merangkap sebagai ustadzah yang kerap kali mengisi ceramah di majelis-majelis. Ia terlihat begitu semangat dan menikmati kehidupannya. Meski bathinnya penuh dengan gejolak, sebab ia harus berjuang segalanya sendiri.
Mbak Venus manusia biasa, sebagai seorang wanita normal, tentu saja ada hal-hal yang terkadang bahkan terus-menerus menuntut untuk dipenuhi. Termasuk kebutuhan bathiniahnya. Wanita cantik berjilbab itu kerapkali miris, ketika mendapat berbagai sindiran ibu-ibu tetangga dan pertanyaan-pertanyaan seputar kebutuhan bathin dari rekan-rekannya.
"Ah! Sementara aku hanya bisa bersabar," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
***
Perasaan ibu seorang anak itu terus dihantui sindiran-sindiran tetangga saat sama-sama berbelanja sayur kepada padagang langganannya.
"Mau masak apa, Jeng?"
"Masak terong, aaah!"
"Deuh! Yang suka makan terong. Ha-ha-ha...."
"Punya Jeng segede ini enggak di rumah?" tanya seorang wanita dengan memegang sebuah terong berukuran besar kepada rekan belanjanya.
"Hahaha gila, Bu! Bisa matilah aku, kalau segede itu mah. Noh! Pisang ambon pas tuh! Heuheuheu...."
"Ha-ha-ha," tawa para tetangganya begitu renyah.
"Seminggu berapa kali, Jeng?"
"Ah! Gak pernah dihitung, tuh! Pokoknya pengen tinggal minta ajah! Hahaha."
Mbak Venus hanya bisa tersenyum-senyum kecut melihat tingkah polah mereka.
"Astaghfirullaah," hanya kata itu yang dapat diucapkannya sambil tersenyum.
***
Mata wanita berkulit kuning langsat itu berbinar-binar menatap sang suami yang terbaring lemah di sampingnya. Betapa ia berharap pria itu segera sembuh, kembali normal seperti dahulu, tujuh tahun lalu. Ia membutuhkannya. Betapa dulu, begitu gagah dan perkasa. Kini layaknya mayat hidup dan membuatnya sedemikian duka.
Muslimah itu terus berdo'a agar sang suami lekas sembuh. Ia percaya bahwa Tuhan tengah mengujinya. Apakah ia akan tetap tabah, atau menyerah. Sebuah kesabaran yang sulit dijalani.
Dengan kasih sayang, ia mencoba memeluk Mas Dekik, mencium dan mengajaknya tersenyum.
"I love you, Papa."
"Mah, Papa betul-betul tak berguna, ya?"
"Papa bilang apa?"
"Papa tahu, Mama sangat kecewa dengan keadaan Papa. Papa tahu, Mama sangat tersiksa dengan situasi ini, kan?" kata Mas Dekik berlinang air mata.
"Tidak, Pah. Mama mencintai Papa tulus dan ikhlas, apa adanya," jawabnya meski dengan hati menangis.
Ia hanya ingin suami tersenyum padanya. Ia hanya ingin terlihat tegar di mata suaminya. Suami yang dulu benar-benar menjadi panutan, berwibawa dan bertanggungjawab.
"Sebenarnya, jika Mama mau, tinggalkanlah Papa! Mama bisa memiliki pria mana saja buat Mama, Papa ikhlas, Mah. Sebab Papa betul-betul tak berguna sekarang. Hiks."
"Papa bicara apa? Sudahlah, Pah! Papa jangan berpikir macam-macam, deh! Siapa bilang Papa tak berguna? Mama bisa seperti ini, itu karena Papa, karena didikan Papa. Mama bisa mengaji, membaca Al-Qur'an dengan fasih, itu semua Papa yang ngajarin, kan, Pah? Itulah sebabnya Mama tak akan mungkin meninggalkan Papa, Papa imamku Pah, yang akan menuntunku ke syurga Allah kelak," jawabnya dengan sorot mata haru.
***
Cerita mengenai suami Mbak Venus yang lumpuh, bukanlah berita baru di telinga teman-teman dan kenalannya. Bahkan sampai pula ke telinga mantan pacarnya dulu yang kini menduda dan kaya. Mantan pacarnya kerap kali merayu dan mengajak agar ia kembali. Ini membuat hatinya bimbang, betapa tidak, ia dengan Mas Dekik tidaklah berpacaran. Mas Dekik langsung melamar, dan orang tua Mbak Venus menyetujuinya. Terkadang juga ada rasa sesal walau sedikit, mengapa dulu ia menerima lamaran Mas Dekik, tapi orang tuanya berkata bahwa, laki-laki yang tak ingin berpacaran, tapi langsung melamarnya, adalah orang yang bertanggungjawab. Maka dengan alasan itulah mereka menikah. Dan itu terbukti benar, bahwa Mas Dekik sangat bertanggungjawab, hanya saja kini musibah menimpanya.
***
Alangkah manusiawi. Walau bagaimanapun, meski tidak diakuinya, hati tidaklah dapat berbohong. Demikian pula kupikir hati Mbak Venus yang terus berkecamuk, berperang antara keimanan dan nafsunya. Nafsu manusiawi yang dimiliki oleh setiap wanita normal mana pun. Betapa ia, selama tujuh tahun hidup tanpa sentuhan laki-laki, meski ia memiliki seorang suami.
Setiap kali hasrat itu datang, ia selalu menyiasatinya dengan berwudlu dan mendirikan sholat. Terutama jika hasrat itu datang di malam hari, membaca Al-Qur'an, bahkan dengan berpuasa. Atau mengalihkan kekalutannya itu dengan ikut bersosialisasi di lingkungannya dan melakukan berbagai kegiatan sosial. Semua itu dilakukan hanya demi meredam nafsunya yang selalu bergejolak. Katanya.
***
Di sisi lain, aku terus mengagumi dan mengajaknya berkomunikasi. Menciptakan keakraban yang sekiranya dapat membuka hatinya untukku. Karena aku tahu, bahwa ia sangat membutuhkan itu. Segenap perhatian kuberikan semata-mata karena aku menyayanginya. Ya! Aku jatuh cinta kepadanya. Meskipun umurku jauh lebih muda. Akan tetapi, aku tak memperdulikan hal itu, bahkan sering ditertawakan olehnya. Ah! Masa bodoh!
***
Suatu pagi, aku tahu Mbak Venus sedang menjemur pakaian di atas loteng belakang rumahnya. Kusengajakan diri mencari perhatian dengan menyusul pula naik ke loteng yang memang bersebelahan.
Diam-diam aku terus memperhatikannya. Mengamati setiap geraknya. Lemah gemulai dan benar-benar cantik mengagumkan.
"Ehm!"
"Ada apa, Jev? Batuk ya?"
"Hehe.... Wah! Lagi 'njemur apaan tuh, Mbak?" tanyaku pura-pura bodoh saat melihat tangan Mbak Venus memegang sebuah celana dalam basah.
"Ini nih! Mau? Hahaha," jawabnya sambil membentangkan benda itu ke tali jemuran.
"Wow! Hahaha."
***
Ada rasa aneh yang berdesir di dalam dada ini. Ah! Candanya memancing, nih! Hmmm! Aku merasa mendapat sinyal aneh. Pikiranku mulai tak menentu.
"Oya, Jev! Bisa bantu aku gak hari ini?"
"Emmm... bantu apa ya, Mbak?"
"Pokoknya ikutin Mbak aja, deh! Ya? Cepetan ke sini!"
"Emmm... tapi, Mbak?"
"Pokoknya gini, Jev! Kamu kan tahu, suamiku tak bisa apa-apa, dan Mbak butuh kamu sekarang, kamu ke sini ya? Cepetan! Okey?"
"I... i... iya, Mbak," jawabku gugup.
***
Sambil bersiul kuturuni tangga dan keluar menuju rumah Mbak Venus. Nampak ia menyambut dengan senyumnya yang berseri-seri dari balik pintu.
"Ini saya, Mbak. Ada perlu apa, ya?"
"Sini deh! Ikut Mbak!"
Sambil toleh kanan dan kiri aku mengikutinya dari belakang. Nampak pemandangan mendebarkan jantung ketika memperhatikan tubuh wanita sintal padat berisi itu di balik baju muslimahnya. Kuamati setiap langkah dan geraknya. Dada ini berdegup kencang.
Sampailah di ruang dapur. Aku masih toleh kanan kiri gugup tak menentu.
"Pak Dekiknya mana, Mbak?"
"Ada kok, di kamar. Ssst! Tapi tenang aja, dia lagi tidur, udah tenang aja, okey?"
"I... i... iya, Mbak. Hehe, a... ada apa, sih, Mbak?"
"Ini loh, Jev. Tadi aku kan, mau nyalain kompor, tapi kok gak nyala, tolong dicek, deh, ya? Apakah kompornya rusak, atau gasnya yang habis. Habis itu kita ke kamar, okey?"
Darahku berdesir. Ke kamar? Wow! Mau ngapain? Ah! Hihihi.... Pikiranku bermain-main dalam imajinasi yang nakal. Aku segera meneliti, ternyata benar, tabung gas 16 kilogram telah kosong.
"Oh! Ini gasnya yang habis, Mbak."
"Oh," jawabnya seraya mengeluarkan HP dan menelpon seseorang, tapi diurungkan.
"Gini aja deh, Jev! Bisa tolongin Mbak belikan gas, kan?"
***
Aku pun bergegas memanggul tabung gas itu ke luar rumahnya.
***
Aku kembali dengan tabung gas yang berisi. Pipa regulator pun terpasang.
"Sudah, Jev?" tanya Mbak Venus dari kamar lantai atas.
"Iya, sudah, Mbak,"
"Jev, sini dong naik!" Mbak Venus melambaikan tangannya dari ujung tangga.
"Wah! Tapi, Mbak?"
"Ssst! Cepetan mumpung suamiku lagi tidur, ih! Ntar mbak kasih, okey?" rayunya sambil mengedipkan sebelah mata yang indah dari balik kacamata minusnya.
Aku bedebar-debar sambil menaiki anak tangga satu persatu menuju kamar atas, di mana Mbak Venus telah menunggunya.
"Mbak?" panggilku di depan pintu kamar.
"Iya, Jev. Buka aja, tanggung nih, minggirin pakaian di atas kasur, takut mengganggu nantinya."
Ouhg! Hatiku semakin dag-dig-dug.
"Iya, Mbak," kubuka pintu perlahan, nampak ustadzah nan cantik itu tengah mengosongkan kasurnya dari barang-barang dan pakaian yang menumpuk ke dalam keranjang.
"Nah, gini kan, aman. Hehe," katanya.
Sementara aku masih terbengong sibuk menatap wajahnya yang semakin mempesona pagi itu.
"Aku cantik ya, Jev?" tanya Mbak Venus sambil tersenyum dan menatap.
"Banget Mbak. Hehe."
"Oya, Jev, tolong geser dulu deh, ini kasurnya!"
Aku pun menggeser springbed indah itu pada posisi yang ia inginkan.
"Terus apa lagi, Mbak?"
Tiba-tiba Mbak Venus merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Tubuh wanita berbibir sensual itu pun tergolek di depan mataku, terlihat sangat menggairahkan.
"Nah, kalau gini posisinya, kan enak, Jev."
"Terus gimana lagi, Mbak?"
"Oya, lemari ini kita geser ke sebelah sana, di belakang lemari ini kan, ada lubang saklar buat nyalain TV, Jev. Ntar kan, kita bisa sambil nonton film di kamar ini."
"Oh, iya, Mbak. Ayo kita geser!"
Aku mulai mengerahkan tenaga untuk menggeser lemari pakaian Mbak Venus ke arah yang dimaksud.
"Oouh... terus, Jeeev... Ooh ...," suara Mbak Venus ikut mendorong.
"Eeugh...! Ah.... Ouh!"
"Terus, Jev! Iyahhh! Oouh... dorong yang kuat, Jeeev! Sedikit lagi, sedikit lagi, Jev... oh! Iyyyah... iyahhh... iya begitu, Jev! Terrrusss... oh!" mulut Mbak Venus terus meracau.
"I... i... iya, Mbaaak.... Ouuughhhmmm... ah!"
"Oh... oh... oh... huffft!" nafasnya memburu kelelahan, "Nah, kalau posisinya begini kan enak, Jev. Ya, kan? Enak gak, Jev?"
"Iya, Mbak, enak banget." jawabku sambil ngos-ngosan.
Dengan wajah berkeringat di balik jilbabnya, Mbak Venus membuka laci dan mengeluarkan beberapa lembar uang hendak diberikannya padaku.
"Gak usah, Mbak! Aku ikhlas, kok."
"Kalau gitu makasih, Jev."
***
Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di halaman. Tiba-tiba ada seorang lelaki paruh baya penjaga keamanan komplek, menegurku.
"Jev! Habis ngapain elu di dalem? Sampai berkeringat gitu?" tanyanya curiga.
"Aku habis ML, Bang."
"Gila luh! ML apaan maksud lu?"
"Mindahin Lemari. Berat banget, deh! Keh keh keh."
.
.
===TAMMAT===
ID 53463/00212
No. Peserta F.0004
(KR-78/I/KobraNews2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar